Satuan Laju
Korosi
|
Konstanta (K)
|
mils per year
(mpy)
|
3,45 x 106
|
inches per year
(ipy)
|
3,45 x 103
|
inches per month
(ipm)
|
2,87 x 102
|
milimeters per
year (mm/y)
|
8,76 x 107
|
micrometers per
year (µm/y)
|
8,76 x 104
|
picometers per
second (pm/s)
|
2,78 x 106
|
grams per square
meter per hour (g/m2h)
|
1,00 x 104
x DA
|
miligrams per
square decimeter per day (mdd)
|
2,40 x 106
x DA
|
micrograms per
square meter per second (µg/m2s)
|
2,78 x 106 x DA
|
Minggu, 15 Juni 2014
MODUL KOROSI
MODUL KOROSI
A.
Prinsip Dasar Korosi
Korosi merupakan interaksi bahan (biasanya logam) dengan lingkungannya yang
mengahsilkan kerusakan pada material dan lingkungan (Groysman, 2010). Korosi
juga didefinisikan sebagai kerusakan yang terjadi akbiat reaksi logam dengan
lingkungannya.
Reaksi korosi menghasilkan oksida logam, sulfida logam dan hasil reaksi
lainnya. Pada proses korosi, reaksi yang berpengaruh adalah reaksi
elektrokimia. Korosi elektrokimia biasanya terjadi pada lingkungan yang basah,
pada temperatur yang relatif rendah, dengan berbagai bentuk korosi yang
mengikuti mekanisme elektrokimia yaitu reaksi oksidasi (anodik) dan reaksi
reduksi (katodik) (Fontana, 1986).
Gambar 2.1. Reaksi
Korosi
(Sumber: images.google.co.id)
Reaksi oksidasi merupakan perubahan dari
sebuah atom atau kelompok atom (gugus) melepaskan elektron, bersamaan itu pula
atom atau kelompok atom akan mengalami kenaikan bilangan oksidasi. Demikian
pula sebaliknya reaksi reduksi adalah
perubahan dari sebuah atom atau kelompok atom menerima atau menangkap elektron
(Chem-is-try, diakses tanggal 15 februari 2014 pukul 14.22 WIB).
Proses korosi tidak akan terjadi hanya
jika 4 komponen dasar terjadinya korosi terpenuhi, komponen tersebut adalah
(Trethewey: 1995):
1.
Anoda, merupakan bagian dari logam yang
berfungsi sebagai elektroda, dimana terjadi reaksi anodik. Reaksi anodik dapat
menghasilkan elektron. Contoh dari reaksi anoda:
2.
Katoda, merupakan elektroda yang
mengalami peristiwa katodik yang mengkonsumsi elektron hasil dari reaksi
anodik. Contoh reaksi yang terjadi adalah:
3.
Penghantar listrik, dimana di antara
katoda dan anoda harus terdapat kontak listrik agar arus dalam sel korosi dapat
mengalir.
4.
Elektrolit, merupakan sebuah media yang bersifat
menghantarkan arus listrik seperti air dan tanah.
Contoh dari proses korosi yang paling sering terjadi adalah pada pipa
penyalur minyak dan gas yang menggunakan material logam baja paduan di
lingkungan air laut sebagai berikut:
Anoda : Fe
Fe2+ +
2e
Katoda : H2O
+ 2e + 1/2 O2
2OH-
Rekasi di atas menunjukkan bahwa reaksi yang terjadi pada
anoda adalah peristiwa lepasnya ion-ion Fe dan elektron pada logam Fe yang
mengalami oksidasi. Pada katoda terjadi reaksi reduksi dimana terjadi pelepasan
ion-inon OH- yang menyebabkan lingkungan menjadi basa atau netral.
Ion OH- ini berasal dari reduksi oksigen.
B.
Jenis-Jenis Korosi
Korosi memiliki berbagai macam jenis, dan setiap jenis korosi memilki
karakteristik masing-masing. Menurut Fontana dalam Corrosion Engineering (1986), korosi dibagi menjadi 15 jenis yaitu:
1.
Korosi Galvanis
Merupakan korosi
yang terjadi akibat dua logam yang tak sejenis tergandeng membentuk sebuah sel
korosi yang sederhana akibat perbedaan elektroda potensial yang ada di bahan
itu sendiri.
2.
Korosi Batas Butir/Intragranuler
Korosi intragranuler terjadi karena stainless
steel sebagai alloy yang terdiri
dari Fe, Cr, Mn, Ni ditinggalkan Cr menuju ke batas butir karena pemanasan yang
terjadi pada temperatur 800-900◦C. Cr tidak akan meninggalkan alloy pada temperatur di atas 1100◦C.
3.
Korosi
Biologis/Mikrobiologi
Korosi yang
disebabkan oleh mikroorganisme seperti plankton dan lain-lain.
4.
Korosi Jarum (Pitting)/Sumuran
Korosi yang
diakibatkan oleh lingkungan yang banyak mengandung Cl seperti air laut.
5.
Korosi Celah
Korosi yang
disebabkan oleh adanya celah sekitar sambungan dua logam akibat beberapa korosi
yang mendahului seperti korosi erosi, korosi cavitasi sehingga lingkungan
sekitar kekurangan oksigen dan mengakibatkan korosi ini bersinergi dengan
korosi lain.
6.
Korosi Cavitasi
Korosi yang
disebabkan oleh kesadahan air yang mengalir sehingga terbentuk
gelembung-gelembung udara yang pecah saat mengalir sehingga terjadi cacat pada
logam yang diawali dari pecahnya gelembung.
7.
Korosi Uniform/Seragam
Korosi yang
disebabkan oleh lingkungan yang korosif.
8.
Korosi Hydrogen
Korosi yang
diakibatkan oleh pebnetrasi hidrogen ke dalam logam, biasanya terjadi pada
bejana produksi steam atau pada bejana produksi boiler dimana uap air terurai
menjadi hidrogen dan oksigen pada saat terjadi “over heated”.
9.
Korosi Temperatur
Tinggi
Korosi yang
diakibatkan temperatur kerja logam yang sangat tinggi sehingga logam mengalami
perubahan bentuk, dimulai dengan melebarnya pori antar partikel penyusun logam,
kemudian terjadi rengkahan-rengkahan antar partikel dan akibatnya pori-pori
akan semakin melebar dan memudahkan masuknya atom-atom pengkorosif.
10. Korosi Tegangan
Korosi ini terjadi
pada logam yang mengalami tegangan lewat dari batas kemampuan tegangan yang
diterima.
11. Korosi Sinergi Tegangan dan Temperatur Tinggi
Korosi ini terjadi
akibat bersinerginya tegangan dan temperatur tinggi berakibat pada laju korosi
yang semakin cepat.
12. Korosi Frettling
Korosi yang
diakibatkan oleh moment putar dari benda kerja yang berputar dengan rpm tinggi,
seperti pada bantalan bearing.
13. Korosi Radiasi
Korosi ini
diakibatkan oleh bahan bejana penampung bahan nuklir yang mempunyai kekhususan
menegeluarkan sinar radiasi dengan aktivitas tertentu, maka bahan tersebut
mempunyai rapat massa yang tinggi agar bisa membendung sinar radiasi dari bahan
yang ditampungnya.
14. Korosi Erosi
Korosi yang terjadi
akibat terjadinya friksi/gesekan dari bahan dengan fluida yang melewati, karena
berjalan secara continue lambat laun
dan perlahan-lahan bahan tersebut mengalami korosi erosi.
15. Korosi Fatigue
Korosi yang diakibatkan oleh kelelahan suatu bahan
menahan beban puntir dari suatu benda kerja yang mengalami moment putar tinggi.
C.
Faktor Yang Mempengaruhi Laju Korosi
Laju korosi yang terjadi pada lingkungan netral, normalnya adalah 1 mpy
atau kurang. Permasalahan korosi biasanya terjadi diakibatkan oleh adanya
interaksi logam dengan air, akan tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi
laju korosi, di antaranya (ASM, 2003):
1.
Faktor Kandungan
Gas dan Padatan Terlarut
a.
Oksigen (O2)
Adanya oksigen yang terlarut akan menyebabkan korosi pada metal akan
bertambah dengan meningkatnya kadar oksigen. Kelarutan oksigen dalam air
merupakan fungsi dari tekanan, temperatur dan kandungan klorida. Untuk tekanan
1 atm dan suhu kamar, kelarutan oksigen adalah 10 ppm dan kelarutannya akan
berkurang dengan bertambahnya temperatur dan konsentrasi garam.
b.
Karbondioksida (CO2)
Adanya
karbondioksida yang terlarut dalam air maka akan terbentuk asam karbonat (H2CO2)
yang dapat menurunkan pH air dan meningkatkan korosifitas.
c.
Klorida (Cl)
Klorida menyerang
lapisan mild steel pada stainless steel. Padatan ini menyebabkan
terjadinya pitting, crevice corrotion, dan
juga menyebabkan pecahnya paduan.klorida biasanya ditemukan dalam campuran
minyak-air dalam konsentrasi tinggi akan menyebabkan korosi. Proses korosi juga
dapat disebabkan oleh kenaikan konduktivitas larutan garam, dimana larutan
garam yang lebih konduktif, laju korosinya juga akan lebih tinggi.
d.
Karbonat (CO3)
Kalsium karbonat
sering digunakan dalam pengontrol korosi dimana film karbonat diendapkan
sebagai lapisan pelindung permukaan logam, tetapi dalam produksi minyak hal ini
sering menimbulkan masalah scale.
e.
Sulfat (SO4)
Ion sulfat ini
biasanya terdapat dalam minyak. Dalam air, ion sulfat juga ditemuka dalam
konsentrasi yang cukup tinggi dan bersifat kontaminan, dan oleh bakteri SRB
sulfat diubah menjadi sufida yang bersifat korosif.
2.
Faktor Temperatur
Penambahan
temperatur umumnya menambah laju korosi walaupun kenyataannya kelarutan oksigen
akan berkurang seiring bertambahnya temperatur. Apabila metal dalam temperatur
yang tidak uniform, maka akan besar kemungkinan terbentuk korosi. Pada
lingkungan temperatur tinggi, laju korosi yang lebih tinggi dibandingkan
temperatur rendah, karena pada temperatur tinggi reaksi kimia akan meningkat.
3.
Seleksi Material
Pemilihan material
merupakan faktor yang cukup mempengaruhi terjadinya proses korosi pada suatu
struktur. Dengan pemilihan material yang tepat maka kita dapat menatralisir dan
mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh korosi pada suatu struktur.
4.
Faktor pH atau
Derajat Keasaman
pH dalam proses
korosi sangat berpengaruh untuk terjadi apa tidaknya proses korosi. Besarnya pH
biasanya dinyatakan dalam angka berkisar 0-14. Jika pH berkisaran antara 0-7
maka lingkungan bersifat asam , sedangkan jika pH berkisar antara 7-14 maka
lingkungan bersifat basa. Lingkungan dinyatakan netral jika pH = 7. Seperti
kita ketahui dengan menurunnya nilai pH, maka keasman akan menigkat, ini
tentunya akan meningkatkan laju korosi.
5.
Faktor Bakteri
Pereduksi atau Sulfat Reducing Bacteria
Jenis bakteri yang dapat dijadikan penyebab korosi adalah
bakteri yang meghasilkan asam sebagai hasil metabolismenya yang dapat
menimbulkan terbentuknya asam sulfida yang dapat meningkatkan reaksi oksidasi
logam pada anoda. Adanya bakteri pereduksi sulfat akan mereduksi ion sulfat
menjadi gas H2S yang mana jika gas ini terbentuk dan kontak dengan
besi maka akan menyebabkan korosi.
D.
Mengukur Laju Korosi
Untuk mengukur laju korosi terdapat dua metode yang digunakan untuk
menghitungnya, kedua metode tersebut adalah dengan menggunakan metode
kehilangan berat (weight loss) dan
metode polarisasi.
1.
Metode Kehilangan
Berat (Weight Loss)
Dalam penelitian
ini pengukuran laju korosi yang digunakan ialah metode kehilangan berat. Metode
kehilangan berat adalah metode pengukuran laju korosi yang paling banyak
digunakan. Sampel ditempatkan di dalam sistem dan dibiarkan untuk terkorosi.
Setelah itu dihitung laju korosnya melalui kehilangan berat yang terjadi pada
sampel.
Bentuk dan dimensi
sampel yang akan diuji dapat bervariasi sesuai persyaratan pengujian. Persamaan
untuk menghitung laju korosi dapat ditulis sebagai berikut.
Laju korosi
=
.............................................. (2.1)
K = konstanta laju korosi (3,45 x 106)
(mpy)
W = kehilangan berat sampel (gr)
D = berat jenis sampel (gr/cm3)
A = luas permukaan sampel (cm2)
T = variasi waktu pencelupan (jam)
Tabel 2.1 Konstanta pada
Satuan Laju Korosi
2.
Metode Polarisasi
Polarisasi
merupakan penyimpangan potensial elektrode (E) dari keadaan seimbang yang
disebabkan karena kecepatan reaksi bersih permukaan untuk reaksi setengah sel
(Denny, 1992).
Tafel plots atau bagian
linear dari polarisasi logcurrent
anodik atau katodik dan plot potensial di ekstrapolasi memotong garis potensial
korosi. Laju korosi yang rendah secara umum dapat diukur dengan cepat. Laju
korosi biasanya ditentukan dengan keseimbangan antara reaksi elektrokimia yang
berlawanan. Reaksi anodik merupakan peristiwa logam teroksidasi dan melepaskan
elektron dan reaksi katodik merupakan peristiwa di mana larutan (umumnya O2
atau H+) mengalami reduksi, memindahkan elektron dari logam.
Ketika kedua reaksi
ini berada dalam kesetimbangan, aliran elektron dari setiap reaksi akan
seimbang dan tidak ada aliran elektron (arus listrik) terukur, logaritma dari
arus terbentuk. Teori mengenai arus anodik-katodik dijelaskan dengan garis
lurus. Kurva garis merupakan total arus penjumlahan dari arus anodik dan
katodik.
Potensial logam didapatkan di mana reaksi anodik dan
katodik seimbang. Kesetimbangan potensial didapatkan akibat hubungan listrik
terhadap logam (pengukuran Ecorr). Penjumlahan arus anodik dan
katodik pada Ecorr merupakan arus korosi (Icorr). Namun Icorr
tidak dapat diukur secara langsung sehingga diperlukan teknik elektrokimia. Hal
tersebut juga berlaku pada penentuan laju korosi (corrotion rate).
E.
Perlindungan Terhadap Korosi
Perkembangan jaman mengakibatkan teknologi untuk mencegah dan melindungi
logam dari bahaya korosi yang mengakibatkan kerugian yang sangat besar semakin
berkembang. Pemilihan penggunaan metode perlindungan korosi harus disesuaikan
dengan material, cara kerja material,
dan jenis korosi yang terjadi pada material tersebut.
Berikut
adalah beberapa cara untuk melindungi logam dari korosi:
1.
Proteksi Katodik
Proteksi katodik
merupakan pemberian arus searah (DC) dari sumber tegangan eksternal untuk
melindungi sistem dari korosi. Beberapa metode proteksi katodik antara lain
(Denny, 1992):
a.
Anoda Korban (Sacrifice Anode)
Metode ini
menggunakan prinsip galvanik, dimana suatu logam yang akan dilindungi
dihubungkan secara elektrik dengan logam yang bersifat anodik (lebih negatif
dari logam yang dilindungi) sesuai dengan deret galvanik.
b.
Arus Tanding (Impressed Current)
Metode arus tanding
diaplikasikan dengan memberikan arus listrik searah dari sumber tegangan luar,
untuk meliindungi suatu struktur logam yang saling berdekatan. Pada prinsipnya
metode ini dialkukan dengan memberikan suplai elektron kepada struktur yang diproteksi
secara katodik agar tidak terjadi kebocoran elektron. Proses ini menggunakan
penyearah (rectifier) degan kutub
negatif dihubungkan ke logam yang akan dilindungi dan kutub positif dihubungkan
ke anoda.
2.
Lapisan Pelindung
Coating adalah
proses pelapisan permukaan logam dengan cairan atau serbuk, yang akan melekat
secara kontinu pada logam yang akan dilindungi, setelah proses solidifikasi.
Adanya lapisan pada permukaan logam akan meminimalkan kontak logam dengan
lingkungannya, yang kemudian akan mencegah proses korosi pada logam (Denny,
1992). Pelapisan yang paling umum digunakan adalah dengan cat. Cat yang
digunakan biasanya merupakan bahan organik yang tidak dapat larut yang disebut
dengan pigmen, dengan partikel pengangkut cair. Pigmen biasanya terdiri dari
logam oksida TiO2, PbO3, Fe2O3, dan
lainnya. Sementara zat pengangkutnya biasanya dari minyak nabati yang jika
mengalami kontak dengan udara akan teroksidasi dan terpolimerisasi menjadi zat
padat.
3.
Inhibitor
Inhibitor merupakan
zat yang ditambahkan dalam jumlah relatif kecil (10-80ppm) ke dalam lingkungan
yang korosif sehingga mengubah lingkungan dan menurunkan laju korosinya.
Inhibitor memiliki beberapa mekanisme kerja secara umum yaitu:
a.
Inhibitor
teradsorpsi pada permukaan logam dan membentuk lapisan tipis yang tak kasat
mata namun dapat menghambat penyerangan korosi terhadap logam.
b.
Melalui pengaruh
lingkungan (seperti pH) menyebabkan inhibitor dapat mengendap dan selanjutnya
teradsorpsi pada permukaan logam serta melindunginya terhadap korosi.
c.
Inhibitor lebih
dahulu mengkorosi logamnya dan mengahsilkan zat kimia lalu membentuk suatu
lapisan pasif pada permukaan.
d.
Inhibitor
menghilangkan konstituen yang agresif dari lingkungannya.
Efisiensi inhibitor menunjukkan persentase penurunan laju
korosi akibat penambahan inhibitor. Persamaannya adalah sebagai berikut (Denny,
1992):
Efisiensi Inhibitor =
x
100%................................... (2.2)
XA = laju korosi pada wadah tanpa inhibitor
XB = laju korosi pada wadah dengan penambahan
inhibitor
Secara garis besar jenis-jenis inhibitor korosi dibagi berdasarkan
mekanisme inhibisinya, yaitu sebagai berikut (Roberge, 2000):
a.
Inhibitor Anodik
Seperti namanya anodik inhibitor bekerja dengan menghambat terjadinya
reaksi anodik. Inhibitor jenis ini bekerja dengan mengubah sifat permukaan
logam menjadi pasif. Terdapat dua jenis inhibitor anodik yaitu (Roberge, 2000):
1)
Oxidizing ion, inhibitor
jenis ini adalah inhibitor berbasis nitrat, kromat dan nitrit yang dapat
membuat lapisan pasif di permukaan.
2)
Non-Oxidizing ion seperti phospat, tungsten, dan molybdate yang membutuhkan keberadaan
oksigen agar dapat membuat lapisan pasif di permukaan baja.
Inhibitor jenis ini biasanya digunakan pada apalikasi recirculation cooling system, rectrifier dan
cooling tower. Kelemahan dari jenis
inhibitor ini adalah jumlah inhibitor yang terkandung dalam larutan harus
terkontrol dengan baik. Sebab jika kandungannya menurun dari batas akan membuat
laju korosi semakin cepat. Inhibitor jenis ini akan membuat potensial menjadi
lebih positif.
b.
Inhibitor Katodik
Inhibitor jenis ini adalah inhibitor yang bekerja dengan cara memperlambat
laju korosi melalui proses katodik. Salah satunya adalah dengan cara
presipitasi di permukaan material agar menghasilkam tahanan dan impedansi di permukaan
katoda, atau dengan cara memperkecil difusi zat yang akan tereduksi. Inhibitor
katodik terbagi atas beberapa jenis menurut mekanisme inhibisinya yaitu
(Roberge, 2000):
1)
Presipitasi
katodik, ion-ion kalsium, seng, magnesium mengendap membentuk oksida yang
merupakan lapisan pelindung pada logam, sebagai contoh: garam-garam logam
transisi akan mengendap sebagai hidroksidanya pada pH tinggi, zat yang lazim
digunakan adalah ZnSO4 yang terhidrolisis. pH larutan harus dibuat
tetap tinggi mengingat harus menetralisir asam yang terbentuk.
2)
Racun katodik,
menghambat reaksi evolusi hidrogen atau reaksi pada katoda. Contoh, campuran
arsenik dan antimony. Pada pembentukan gas hidrogen, reaksi diawali yang
teradsorpsi pada permukaan katoda. Inhibitor berperan menghambat kedua tahap
reaksi terutama reaksi pertama, dengan cara menurunkan tegangan lebih
katodiknya. Yang penting adalah bila inhibitornya hanya menghambat reaksi
kedua, maka terjadi penumpukan atom hidrogen pada permukaan katoda. Atom
tersebut terpenetrasi ke dalam kisi logam dan mengakibatkan kerapuhan akibat
hidrogen. Senyawa arsenat, bismutat dan antimonat dapat digunakan melalui
reaksi tertentu (misal reaksi kondensasi), tereduksi menghasilkan produk yang
mengendap pada katoda. Biasanya reaksi tersebut berlangsung pada pH relatif
rendah.
3)
Penangkap oksigen,
menghambat korosi dengan mencegah reaksi reduksi oksigen, kerjanya mengikat
oksigen terlarut. Biasanya digunakan pada temperatur kamar, Na2SO3.
Inhibitor katodik
akan membuat potensial menjadi lebih negatif.
c.
Inhibitor Organik
Inhibitor organik memiliki keunikan karena pada inhibitor jenis ini efek
anodik dan katodik juga sering muncul. Inhibtor jenis ini melindungi logam
dengan cara membentuk lapisan tipis (film) yang bersifat hidrofobik sebagai
hasil adsorpsi ion inhibitor oleh permukaan logam dengan elektrolitnya,
sehingga reaksi reduksi dan oksidasi pada proses korosi terhambat. Contoh dari
inhibitor organik ini adalah gugus kimia yang bisa membentuk ikatan co-ordinates dengan logam seperti amino (-NH2), carboxyl (-COOH), dan phosphonate (-PO3H2).
Reaksi adsorpsi pada pembentukan lapisan dipengaruhi oleh panas dan tekanan.
Inhibitor organik akan teradsorbsi sesuai muatan ion-ion inhibitor dan muatan
permukaan. Kekuatan dari ikatan adsorpsi merupakan faktor penting bagi
inhibitor dalam menghambat korosi.
Pada jenis inhibitor organik, proses adsorpsi pada permukaan logam untuk
membentuk lapisan senyawa kompleks. Namun dalam adsorbsi terbagi menjadi 3
mekanisme yaitu (Revie, 2000):
1)
Physical Adsorption
Mekanisme ini terbentuk dari hasil interaksi elektrostatik antara inhibitor
dengan permukaan logam. Logam yang diberi muatan positif akan mengikat
inhibitor dengan muatan negatif. Begitu juga dengan sebaliknya. Ikatan ini
terbentuk dengan cepat dan bersifat bolak-balik namun mudah hilang atau rusak
dari permukaan logam.
2)
Chemisorption
Mekanisme ini terbentuk dari transfer atau membagi muatan antara molekul
dari inhibitor dengan permukaan logam. Jenis adsorpsi ini sangat efektif karena
sifatnya tidak bolak-balik namun dalam pembentukannya berjalan lebih lambat.
3)
Film Forming
Mekanisme jenis ini dipengaruhi oleh struktur inhibitor, komposisi larutan
sebagai media elektrolit, sifat bawaan dari logam, dan potensial elektrokimia
pada lapisan antar muka logam-larutan. Adsorpsi inhibitor organik biasanya
melibatkan minimal dua dari jenis adsorpsi di atas yang berjalan simultan.
Sebagai contoh, adsorpsi inhibitor organik pada logam di lingkungan HCl adalah
kombinasi chemisorptions-physical
adsorpstion yang memberikan perlindungan fisik dan kimiawi.
d.
Inhibitor
Presipitasi
Inhibitor jenis ini adalah inhibitor yang memiliki sifat dapat membentuk presipitat pada permukaan logam. Contoh
dari jenis inhibitor ini adalah silika dan fosfat. Contoh lain dari proses
inhibitor presipitasi ini adalah pada lingkungan hard water yaitu keadaan di mana banyak terkandung ion kalsium dan
magnesium yang bisa menghambat laju korosi akibat kalsium yang mengendap
membentuk presipitat di permukaan logam (Roberge, 2000). Inhibitor jenis ini
terkadang membutuhkan oksigen untuk mendapat reaksi inhibisi yang baik.
e.
Inhibitor Mudah
Menguap (Vollatile Corrotion Inhibitors)
Inhibitor jenis ini bekerja pada ruangan tertutup dengan cara meniupkannya
dari tempatnya diuapkan menuju ke lingkungan yang korosif. Inhibitor ini
setelah menyentuh permukaan logam yang akan dilindungi lalu terkondensasi
menjadi garamnya dan memberikan ion yang bisa elindungi logam dari korosi.
Kemampuan dan efektifitas dari inhibitor jenis ini tergantung dari kemampuan
menguap uapnya tinggi. Namun untuk perlindungan yang lebih lambat namun untuk
jangka panjang dibutuhkan inhibitor yang kemampuan uapnya rendah (Roberge,
2000).
4.
Pemilihan Material
yang Tepat
Prinsip dasar metode pemilihan material adalah memilih
material sesuai dengan kondisi lingkungan di mana material tersebut akan
diaplikasikan. Metode ini erat kaitannya dengan potensial galvanik dari logam
yang digunakan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar