PERANAN PENDIDIKAN
ANAK USIA DINI SEBAGAI SATUAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEMBENTUK KARAKTER
ANAK
Oleh : I Ketut Sudarsana
Abstrak
Pendidikan
Anak Usia Dini yang merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan non
formal dengan menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan
perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya
pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional
(sikap dan perilaku serta agama), bahasa, dan komunikasi, sesuai dengan
keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Oleh karena itu, Pendidikan Anak Usia Dini memegang
peranan penting dalam pendidikan anak. Melalui Pendidikan Anak Usia Dini, anak
dapat dididik oleh gurunya dengan metode dan kurikulum yang jelas. Mereka dapat
bermain dan menyalurkan energinya melalui berbagai kegiatan fisik, musik, atau
keterampilan tangan. Dapat belajar berinteraksi secara interpersonal dan
intrapersonal. Kepada mereka secara bertahap dapat dikenalkan huruf atau
membaca, lingkungan hidup, pertanian, dan bahkan industri. Pengenalan itu
tidaklah berlebihan, karena dalam penyampaiannya disesuaikan dengan dunia anak,
yakni dunia bermain sehingga proses belajarnya menyenangkan. Anak memang seringkali mengeskpresikan ide dan perasaannya
melalui permainan, sehingga ketika mereka merasa menikmati dan senang dengan
apa yang diajarkan itu, maka dengan sendirinya akan bermanfaat bagi
perkembangannya.
Kata Kunci : Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Non formal
LATAR BELAKANG
Carut-marut dunia pendidikan Indonesia,
sungguhnya merupakan sebuah realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya
pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara
signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan
yang sebenarnya sedang ingin dicapai. Ironisnya, disaat beberapa negara
tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor
pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai
suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa
ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan
berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas
pendidikan.
Parahnya lagi, belakangan kita juga
telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki
spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang
seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center,
menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya
mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan
tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh
graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.
Indonesia
mengalami krisis SDM sebenarnya berpangkal pada buruknya kualitas pendidikan
yang dilaksanakan. Untuk
menghadapi krisis, sistem pendidikan memerlukan bantuan dari semua sektor
kehidupan domestik dan pada beberapa kasus, juga memerlukan sumber-sumber di
luar batas nasional. Pendidikan memerlukan dana, namun anggaran pendidikan
sulit bertambah. Pendidikan memerlukan sumber daya, khususnya sumber daya
insani nasional yang terbaik untuk meningkatkan kualitas, efisiensi, dan
produktivitas. Pendidikan memerlukan prasarana dan sarana, materi pengajaran
yang baik dan lebih baik. Di pelbagai tempat, pendidikan memerlukan pula
makanan bagi murid yang lapar agar mereka dalam kondisi siap belajar. Di atas
semua itu pendidikan memerlukan hal-hal yang tidak dapat dibeli dengan uang,
yakni gagasan dan keberanian, keputusan, keinginan baru untuk mengetahui
kemampuan diri yang diperkuat oleh suatu keinginan untuk berubah dan
bereksperimen (Coombs, 1968 : 15).
Berkaitan dengan frasa “sistem
pendidikan”, lebih lanjut diungkapkan bahwa sistem pendidikan tidak hanya
mengacu pada tingkat dan tipe pendidikan formal seperti sekolah kejuruan, umum
dan spesialisasi, tetapi juga seluruh program dan proses sistematik pendidikan
di luar pendidikan formal yaitu yang dikenal dengan pendidikan non formal.
Sistem pendidikan yang di dalamnya terdapat kegiatan pendidikan formal maupun
non formal memiliki sejumlah input, yang diproses untuk memperoleh output untuk
memenuhi tujuan tertentu. Mengacu pada sistem pendidikan selanjutnya
diungkapkan bahwa pendidikan dengan demikian merupakan suatu proses yang
berinteraksi dengan lingkungannya. Output yang ingin dihasilkan dari suatu
sistem pendidikan ditentukan oleh tujuan yang dikehendaki oleh lingkungan atau
masyarakat. Manusia yang terdidik hendaknya diperlengkapi untuk melayani
masyarakat dan mengurus dirinya sendiri sebagai individu dan anggota
masyarakat, pekerja ekonomi, pemimpin dan inovator, warga negara dan warga
dunia dan penyumbang kebudayaan. Untuk itu, pendidikan harus mampu meningkatkan
basic knowledge (pengetahuan dasar) intellectual and manual skills
(keterampilan manual dan intelektual); power
of reason critism (daya nalar/kritik); values,
attitudes and motivation (nilai-nilai, sikap dan motivasi); power of creativity and innovation (daya
kreatif dan inovsi); cultural
appreciation (apresiasi kebudayaan); sense
of social responsibillity (tanggung jawab sosial); dan understanding of the modern world (memahami dunia modern).
Peran Pendidikan
Non Formal
Lingkungan yang berfungsi melahirkan
individu-individu terdidik (educational
individuals) bukan hanya lingkungan keluarga yang disebut juga lingkungan
pertama, lingkungan sekolah yang disebut juga lingkungan kedua, tetapi juga
lingkungan masyarakat yang disebut juga lingkungan ketiga. (Purwanto, 1986 :
148). Peranan penting pendididkan pada lingkungan ketiga yang dikenal dengan
lingkungan masyarakat atau pendidikan non formal dikarenakan manusia adalah
makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia menjadi bagian dari pelbagai
golongan dalam masyarakat, baik dengan sendirinya maupun dengan sengaja. Manusia dengan sendirinya adalah bagian dari keluarga,
kota, negara dan kelompok agama. Tapi ada juga golongan yang dengan sengaja
dimasuki seperti perkumpulan olah raga, serikat pekerja, koperasi, organisasi
politik, perkumpulan kesenian dan lain-lain. Melalui kelompok-kelompok inilah
pendidikan non formal dilakukan. Pendidikan non formal dapat menjadi pelengkap
dari pendidikan formal, terlebih jika dikaitkan dengan
keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan karena adanya krisis.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Sejalan dengan itu, sistem pendidikan nasional
harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta
relevansi dan efisiensi manajamen pendidikan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional dan global sehinga perlu dilakukan pembaharuan
pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.
Penyelenggaraan pendidikan nonformal (PNF) merupakan
upaya dalam rangka mendukung perluasan akses dan peningkatan mutu layanan
pendidikan bagi masyarakat. Jenis layanan dan satuan pembelajaran PNF sangat
beragam, yaitu meliputi: (1) pendidikan kecakapan hidup, (2) pendidikan anak
usia dini, (3) pendidikan kesetaraan seperti Paket A, B, dan C, (4) pendidikan
keaksaraan, (5) pendidikan pemberdayaan perempuan, (6) pendidikan keterampilan
dan pelatihan kerja (kursus, magang, kelompok belajar usaha), serta (7)
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Dalam
situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non
formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat,
bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau
legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan
kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu
membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam
berbagai aspek.
Keunggulan
lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada
fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal,
pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan
pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non
formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat
terhadap jenis pendidikan tersebut. Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non
formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini
terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell
Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai
perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya
mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.
Antonius
Sumarno (2001:98), juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non
formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya
berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi.
Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam
melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua
referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan
tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai
kesempatan. Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang
tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap
kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini
merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat
yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari
pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan
lapangan pekerjaan. Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga
pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga
pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan
diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang
paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang
ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang
saat ini kita geluti.
Tujuannya,
tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga
pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan
dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita
miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi
finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang
sedang dijalani "terhenti di tengah jalan".
Pendidikan non formal diharapkan dapat mengatasi pelbagai
problematika kehidupan. Seperti diungkapkan Buchari (1994 :27) : “Apa yang
harus kita lakukan, agar kegiatan-kegiatan pendidikan non formal yang kita
selenggarakan benar-benar membawa kemajuan yang berarti, yaitu kemajuan yang
lebih besar daripada pembengkakan berbagai problematika yang di hadapi, dan
tidak kalah pula pesatnya dibandingkan dengan laju kemajuan yang dicapai oleh
negara-negara lain”. Pendidikan melalui lingkungan masyarakat atau pendidikan
non formal memiliki berbagai nama, seperti adult
education (pendidikan orang dewasa), continuing
education (pendidikan lanjutan), on-the-job
training (latihan kerja), accelerated
training (latihan dipercepat), farmer
or worker training (latihan pekerja atau petani), dan extension service (pelayanan pendidikan tambahan) dan dianggap
sebagai sistem bayangan (shadow system).
Pelaksanaan pendidikan non formal dapat dilihat perbedaannya pada kasus negara
industri dan negara berkembang. Pada negara maju
seperti di Eropa dan Amerika Utara pendidikan non formal dipandang sebagai
pendidikan lanjutan bagi kehidupan seseorang. Pendidikan seumur hidup sangat
berarti dalam memajukan dan mengubah masyarakat karena tiga alasan : (1) untuk
memperoleh pekerjaan ; (2) menjaga ketersediaan tenaga kerja terlatih dengan
teknologi dan pengetahuan baru yang diperlukan untuk melanjutkan produktivitas;
(3) memperbaiki kualitas dan kenyamanan hidup individu melalui pengayaan
kebudayaan dengan memanfaatkan waktu luang. Dalam perspektif ini, maka
pendidikan lanjutan bagi guru memiliki arti strategis, jika gagal memberikan
mereka pengetahuan yang mutakhir, maka mereka akan “memberikan pendidikan
kemarin bagi generasi esok”.
Pada negara yang sedang berkembang, pendidikan non formal
berperan untuk mendidik begitu banyak petani, pekerja, usahawan kecil dan
lainnya yang tidak sempat bersekolah dan mungkin tidak memiliki keterampilan
maupun pengetahuan yang dapat diamalkan bagi dirinya sendiri maupun bagi
pembangunan bangsanya. Peran lainnya adalah untuk meningkatkan kemampuan dari
orang-orang yang memiliki kualifikasi seperti contohnya guru dan lainnya untuk
bekerja di sektor swasta dan pemerintah, agar mereka bekerja lebih efektif. Di
Tanzania non formal berperan untuk menyelamatkan investasi pendidikan dari
mereka yang tamat sekolah maupun drop out dari sekolah menengah, namun tidak
memperoleh pekerjaan, dengan memberikan kepada mereka pelatihan-pelatihan
khusus (Coombs, 1968 : 143). Di
Indonesia pendidikan non fornal mencakup pendidikan orang dewasa yang bertujuan
agar bangsa Indonesia kenal huruf; dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang
dewasa; mempergunakan segala sumber penghidupan yang ada; berkembang secara
dinamis dan kuat; serta tumbuh atas dasar kebudayaan nasional . Tujuan yang
sudah digariskan pada peta pendidikan sejak 27 Desember 1945 oleh BPKNIP ini
(Poerbakawatja dan Harahap, 1981:270) masih memiliki relevansi hingga kini
apalagi dalam menghadapi menghadapi globalisasi.
Konsep awal dari Pendidikan Non
Formal ini muncul sekitar akhir tahun 60-an hingga awal tahun 70-an. Philip Coombs
dan Manzoor A., P.H. (1985) dalam bukunya The
World Crisis In Education mengungkapkan pendidikan itu pada dasarnya dibagi
menjadi tiga jenis, yakni Pendidikan Formal (PF), Pendidikan Non Formal (PNF)
dan Pendidikan In Formal (PIF). Khusus untuk PNF, Coombs mengartikannya sebagai
sebuah kegiatan yang diorganisasikan diluar system persekolahan yang mapan,
apakah dilakukan secara terpisah atau bagian terpenting dari kegiatan yang
lebih luas dilakukan secara sengaja untuk melayani anak didik tertentu untuk
mencapai tujuan belajarnya.
Penjelasan yang sama terdapat pula di UU Nomor 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), dimana disana dijelaskan bahwa
pendidikan diselenggaran di dua jalur, yakni jalur sekolah (pendidikan formal)
dan jalur luar sekolah (PNF dan PIF). Dalam perubahan UU tentang SPN yang
diperbaharui menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003, istilah jalur pendidikan sekolah
dan pendidilan luar sekolah berubah menjadi system PF, PNF dan PIF. “Dalam UU
ini dijelaskan bahwa PNF adalah jalur pendidikan diluar PF yang dapat dilaksanakan
secata terstruktur dan berjenjang. Sedangkan PIF merupakan jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan,” terang Syukri (1997:34).
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 26 ayat 1 dijelaskan
bahwa Pendidikan Non Formal diselenggarakan
bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai
pengganti, penambah dan/atau pelengkap PF dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan Pendidikan Non
Formal berfungsi mengembangkan potensi
peserta didik (warga belajar) dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional. Sementara
di ayat 3, disana disebutkan bahwa Pendidikan Non Formal meliputi pendidikan kecakapan hidup (life skills); pendidikan anak usia dini;
pendidikan kepemudaan; pendidikan pemberdayaan perempuan; pendidikan
keaksaraan; pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; pendidikan kesetaraan;
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik.
Ditilik dari satuan pendidikannya, pelaksanaan Pendidikan
Non Formal terdiri dari kursus; lembaga
pelatihan; kelompok belajar; Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM); majelis
taklim; serta satuan pendidikan yang sejenis (pasal 26 ayat 4). Disamping itu,
dalam pasal 26 ayat 5, disana dijelaskan bahwa kursus dan pelatihan
diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan,
keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan profesi, bekerja,
usaha mandiri dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hasil pendidikan keaksaraan dapat dihargai setara dengan hasil program PF
setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh
pemerintah atau pemda dengan mengacu pada SPN (pasal 26 ayat 6).
Sasaran dan Karakteristik Pendidikan Non
Formal.
Sasaran Pendidikan Non Formal dapat ditinjau dari beberapa segi, yakni pelayanan,
sasaran khusus, pranata sistem pengajaran dan pelembagaan program. Ditilik dari
segi pelayanan, sasaran Pendidikan Non Formal
adalah melayani anak usia sekolah (0-6 tahun), anak usia sekolah dasar
(7-12 tahun), anak usia pendidikan menengah (13-18 tahun), anak usia perguruan
tinggi (19-24 tahun). Ditinjau dari segi sasaran khusus, Pendidikan Non
Formal mendidik anak terlantar, anak
yatim piatu, korban narkoba, perempuan penghibur, anak cacat mentau maupun
cacat tubuh. Dari segi pranata, penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dilakukan
dilingkungan keluarga, pendidikan perluasan wawasan desa dan pendidikan
keterampilan. Di segi layanan masyarakat, sasaran Pendidikan Non Formal antara lain membantu masyarakat melalui
program PKK, KB, perawatan bayi, peningkatan gizi keluarga, pengetahuan rumah
tangga dan penjagaan lingkungan sehat. Dilihat dari segi pengajaran, sasaran Pendidikan
Non Formal sebagai penyelenggara dan
pelaksana program kelompok, organisasi dan lembaga pendidikan, program kesenian
tradisional ataupun kesenian modern lainnya yaitu menjadi fasilitator bahkan
turut serta dalam program keagamaan, seperti mengisi pengajaran di majelis
taklim, di pondok pesantren, dan bahkan di beberapa tempat kursus. Sedangkan
sasaran Pendidikan Non Formal ditinjau
dari segi pelembagaan, yakni kemitraan atau bermitra dengan berbagai pihak
penyelenggara program pemberdayaan masyarakat berkoordinasi dengan desa atau
pelaksana program pembangunan.
Bagaimana
dengan karakteristik Pendidikan Non Formal? Secara khusus Pendidikan Non Formal memiliki spesifikasi yang ‘unik’ dibanding
pendidikan sekolah, terutama dari berbagai aspek yang dicakupinya. Ini terlihat
dari tujuan Pendidikan Non Formal , yakni memenuhi kebutuhan belajar tertentu
yang fungsional bagi kehidupan masa kini dan masa depan, dimana dalam
pelaksanananya tidak terlalu menekankan pada ijazah. Dalam waktu pelaksanannya,
Pendidikan Non Formal terbilang relatif
singkat, menekankan pada kebutuhan di masa sekarang dan masa yang akan datang
serta tidak penuh dalam menggunakan waktu alias tidak terus menerus.
Isi dari
program Pendidikan Non Formal ini berpedolam pada kurikulum pusat pada
kepentingan peserta didik (warga belajar), mengutamakan aplikasi dimana
menekanannya terletak pada keterampilan yang bernilai guna bagi kehidupan
peserta didik dan lingkungannya. Soal persyaratan masuk Pendidikan Non Formal,
hal itu ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan bersama antara sesama peserta
didik. Proses belajar mengajar dalam Pendidikan Non Formal pun relative lebih fleksibel, artinya
diselenggarakan di lingkungan masyarakat dan keluarga.
Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini sebagai
Pembentuk Karakter Anak
Pendidikan merupakan investasi terpenting yang dilakukan
orang tua bagi masa depan anaknya. Sejak anak lahir ke dunia, ia memiliki
banyak potensi dan harapan untuk berhasil di kemudian hari. Pendidikanlah yang
menjadi jembatan penghubung anak dengan masa depannya itu. Dapat dikatakan,
pendidikan merupakan salah satu pembentuk pondasi bagi tumbuh dan berkembangnya
seorang anak untuk memperoleh masa depan yang lebih baik. Sebagai “buah hati”,
maka dengan penuh rasa kasih sayang para orang tua rela berkorban demi anaknya,
karena masa depan anak juga merupakan masa depan orang tua. Keberhasilan
ataupun kegagalan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya akan terlihat dari
perasaan hatinya manakala menyaksikan kehidupan anaknya ketika dewasa. Pada hakikatnya masa depan anak juga
merupakan masa depan bangsa dan negara. Masa depan itu akan terlihat dua puluh
atau tiga puluh tahun ke depan, di saat mana jutaan anak yang ada sekarang ini
memasuki usia remaja dan dewasa. Merekalah nantinya yang menjadi pelaku
pembangunan di berbagai sektor kehidupan. Kelak diantara mereka ada yang
berperan sebagai pemimpin-pemimpin bangsa yang kebijakannya akan turut
menentukan arah perjalanan bangsa dan negara ini.
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kelak
akan sangat berbeda dengan kondisi yang ada sekarang ini. Kehidupan mendatang
adalah kehidupan modern yang sangat dipengaruhi globalisasi yang semakin masif,
ekstensif, dan seolah tanpa batas. Hubungan antar bangsa diwarnai oleh hubungan
yang semakin kompetitif, karena semua bangsa berpacu untuk mencapai kemajuan
dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi persaingan global yang semakin ketat,
maka generasi mendatang harus memiliki kecerdasan, keterampilan, produktivitas
kerja yang tinggi, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, ahli dan
profesional minimal di bidangnya masing-masing.
Dunia pendidikan memang sangat diperlukan untuk membentuk
generasi seperti itu. Akan tetapi, pendidikan sebagai proses berkelanjutan
tidak semata diarahkan kepada hal yang bersifat “reaktif” atau untuk
kepentingan jangka pendek, ia juga harus bersifat “proaktif” yang artinya
pendidikan juga harus berorientasi kepada kemampuan untuk mengantisipasi
permasalahan yang lebih luas dan mampu menjawab tantangan yang lebih kompleks
di masa yang akan datang. Untuk membentuk generasi yang demikian itu, maka
calon-calon generasi mendatang itu harus dipersiapkan pertumbuhan dan
perkembangannya sedini mungkin, yakni sejak mereka lahir sampai berusia enam
tahun, sehingga mereka memiliki akar yang kuat sebagai pondasi untuk memasuki
pendidikan yang lebih tinggi.
Arti pentingnya pendidikan dini pada anak telah menjadi
perhatian internasional. Dalam pertemuan Forum Pendidikan Dunia tahun 2000 di
Dakkar, Senegal, telah menghasilkan enam kesepakatan sebagai kerangka aksi
pendidikan untuk semua yang salah satu butirnya menyatakan: “memperluas dan
memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini (PAUD),
terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung.
Anggapan bahwa pendidikan baru bisa
dimulai setelah usia sekolah dasar yaitu usia tujuh tahun ternyata tidaklah
benar. Bahkan pendidikan yang dimulai pada usia Taman
Kanak-kanak (4 - 6 tahun) pun sebenarnya sudah terlambat. Menurut hasil
penelitian di bidang neurologi seperti yang dilakukan oleh Dr. Benyamin S.
Bloom, seorang ahli pendidikan dari Universitas Chicago, Amerika Serikat,
mengemukakan bahwa pertumbuhan sel jaringan otak pada anak usia 0 - 4 tahun
mencapai 50% (Cropley, 94). Artinya bila pada usia tersebut otak anak tidak
mendapatkan rangsangan yang maksimal maka otak anak tidak akan berkembang
secara optimal. Hasil penelitian di Baylor College of Medicine menyatakan bahwa
lingkungan memberi peran yang sangat besar dalam pembentukan sikap,
kepribadian, dan pengembangan kemampuan anak secara optimal. Anak yang tidak
mendapat lingkungan baik untuk merangsang pertumbuhan otaknya, misal jarang
disentuh, jarang diajak bermain, jarang diajak berkomunikasi, maka perkembangan
otaknya akan lebih kecil 20 - 30% dari ukuran normal seusianya (Depdiknas,
2003:1).
Secara
keseluruhan hingga usia delapan tahun, 80% kapasitas kecerdasan manusia sudah
terbentuk, artinya kapasitas kecerdasan anak hanya bertambah 30% setelah usia
empat tahun hingga mencapai usia delapan tahun. Selanjutnya kapasitas
kecerdasan anak tersebut akan mencapai 100% setelah berusia sekitar 18 tahun
(Abdulhak, 2002). Oleh sebab itu masa kanak-kanak dari usia 0 - 8 tahun disebut
masa emas yang hanya terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan manusia
sehingga sangatlah penting untuk merangsang pertumbuhan otak anak melalui
perhatian kesehatan anak, penyediaan gizi yang cukup, dan pelayanan pendidikan.
Menurut psikologi perkembangan dan berdasarkan riset neurologi tentang
pertumbuhan otak, usia dini meliputi anak yang berusia 0 - 8 tahun. Dalam hal
ini, pendidikan anak usia dini merupakan konsep tentang perlakuan dini terhadap
anak yang berada pada usia prasekolah atau usia sekolah yaitu di kelas-kelas
awal SD (kelas 1, 2 dan 3) (Supriadi, Pikiran Rakyat).
Namun dalam hal ini pembahasan mengenai anak usia dini dibatasi mulai usia 0 -
6 tahun sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional tahun 2003 pasal 1 ayat 14 dan pasal 28 ayat 1 bahwa pendidikan anak
usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
Sedemikian
vitalnya anak usia dini, maka sangat dianjurkan kepada orang tua untuk
memberikan vaksinasi dan selalu memberikan nutrisi lengkap dan seimbang kepada
anaknya, agar anak mempunyai tubuh yang sehat, kuat dan otak yang cerdas. Orang
tua juga harus memperlakukan anak secara hati-hati dan benar, agar anak
memiliki karakter dan kepribadian yang tepat untuk perkembangannya lebih
lanjut. Anak usia dini dapat digolongkan ke dalam anak usia prasekolah yang
pertumbuhannya terbagi dalam dua tahap, yakni: (1) Usia sejak lahir s.d. usia 2
tahun. Pada usia ini pertumbuhan anak lebih mengarah kepada fungsi-fungsi
biologis. Ia menggunakan mulut sebagai sarana terpenting; (2) Usia antara 2-6
tahun. Pada usia ini perkembangan panca indera sangat menonjol, sehingga dalam
proses belajarnya pun mereka menggunakan panca indera. Ada tiga macam perkembangan yang terjadi pada
usia ini, yakni perkembangan motorik (fungsi gerak), perkembangan bahasa dan
berpikir, dan perkembangan sosial.
Menurut
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada
anak sejak lahir sampai berusia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan
Anak Usia Dini (selanjutnya, PAUD) merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan
pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan
perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya
pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, sosio emosional
(sikap dan perilaku serta agama), bahasa, dan komunikasi, sesuai dengan
keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Seperti
halnya jenjang pendidikan lainnya, jenjang PAUD merupakan tanggung jawab
pemerintah, masyarakat dan orang tua. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya,
dikenal adanya tiga bentuk jalur pelaksanaan PAUD, yakni; Pertama adalah PAUD
jalur pendidikan formal yakni pendidikan yang terstruktur untuk anak anak
berusia empat tahun sampai enam tahun seperti Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul
Athfal (RA), dan bentuk lain yang sederajat. Kedua, PAUD jalur pendidikan
nonformal, yakni pendidikan yang melaksanakan program pembelajaran secara
fleksibel untuk anak sejak lahir (usia tiga bulan) sampai berusia enam tahun,
seperti Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (Play Group), dan bentuk
lain yang sederajat. Ketiga, PAUD jalur pendidikan informal sebagai bentuk
pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan untuk
pembinaan dan pengembangan anak sejak lahir (usia tiga bulan) sampai berusia
enam tahun.
Pendidikan
bisa saja diberikan untuk bayi yang belum lahir seperti yang dilakukan para
orang tua dengan cara memperdengarkan musik klasik kepada bayinya yang masih
berada dalam kandungan. Secara garis besar, pendidikan biasanya berawal pada
saat bayi dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Dalam agama Islam ada
anjuran, “tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai liang lahat”, yang berarti
bahwa pendidikan itu harus dilakukan sedini mungkin, dimana saja, kapan saja
dan berlangsung seumur hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
diamanatkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, Masyarakat, dan Orang Tua. Dalam hal penyelenggaraan PAUD dewasa
ini terlihat bahwa masyarakat yang lebih berperan, dimana institusi-institusi
pendidikan yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat lebih banyak dan beragam
yakni mencapai sekitar 80 persen sedangkan yang dibangun oleh pemerintah hanya
10 persen dari lembaga yang ada. Meski pengelolaan pendidikan menjadi tanggung
jawab bersama, ternyata angka partisipasi pendidikan di Indonesia di berbagai jenjang
pendidikan masih tergolong rendah, termasuk dalam hal ini rendahnya partisipasi
anak balita untuk memasuki PAUD.
Minimnya
pengetahuan orang tua tentang pentingnya PAUD, keterbatasan ekonomi keluarga,
dan keterbatasan anggaran biaya pemerintah untuk alokasi penyelenggaraan PAUD
merupakan faktor penyebab anak usia balita tidak tersentuh pendidikan.
Berdasarkan hasil pendataan Depdiknas tahun 2004, baru sekitar 15,6 persen dari
11,5 juta anak usia 4-6 tahun yang bersekolah di TK, sedangkan untuk anak usia
0-3 tahun, hanya sekitar 15,8 persen yang tersentuh pelayanan anak usia dini. Data
itu menunjukkan, bahwa terjadi peningkatan angka partisipasi dibanding
tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2002, sebanyak 72 persen anak Indonesia usia
nol sampai enam tahun di Indonesia, belum tersentuh pendidikan usia dini,
karena pada tahun itu baru 7,34 juta atau 28 persen dari 26,1 juta anak usia
0-6 tahun yang mendapat pendidikan usia dini. Sebagian besar di antara mereka,
yakni 2,6 juta, mendapatkan pendidikan dengan jalan masuk ke Sekolah Dasar pada
usia lebih awal. Sebanyak 2,5 juta anak mendapat pendidikan di Bina Keluarga
Balita (BKB), 2,1 juta anak bersekolah di TK atau Raudhatul Atfhal, dan sekitar
100.000 anak di Kelompok Bermain.
Berbeda
dengan beberapa negara maju yang memandang pembinaan anak usia dini adalah
suatu proses persiapan pemberdayaan sumber daya manusia yang sangat penting,
sehingga Pendididikan Anak Usia Dini dilakukan secara sangat intensif dan mendapat
perhatian yang sangat tinggi. Alasannya bukan karena orang tua mereka bekerja,
tetapi justru karena pada orang tua sudah tertanam pemahaman bahwa pada usia
dini anak-anak berada pada posisi paling ideal menerima dukungan untuk
mengembangkan kepribadian dan jati dirinya. Dengan pemberdayaan yang baik pada
usia dini, akan dihasilkan anak-anak yang masa depannya cerah karena mereka
menjadi orang dewasa yang kreatif dan mempunyai rasa percaya diri yang kuat.
Kendalanya di Indonesia adalah bahwa tidak setiap orang tua punya pengetahuan
dan kesiapan untuk mendidik anaknya secara betul. Seorang ibu memang telah
memiliki “asam garam” dalam mengasuh anak-anak mereka, akan tetapi agar
perkembangan potensi anak berjalan maksimal, maka diperlukan “kiat-kiat” tertentu,
seperti pengetahuan tentang psikologi anak, aktivitas yang mereka sukai, dan
cara terbaik dalam mendidik mereka. Adakalanya karena faktor ketidaktahuan
itulah, maka tidak jarang, dalam beberapa hal orang tua memperlakukan anaknya
secara berlebihan atau dengan cara paksaan mengajarkan hal-hal yang
sesungguhnya belum saatnya mereka terima sehingga justru menjerumuskan si anak
itu sendiri.
Oleh karena itu, PAUD memegang peranan penting dalam
pendidikan anak. Melalui PAUD anak dapat dididik oleh gurunya dengan metode dan
kurikulum yang jelas. Melalui PAUD, mereka dapat bermain dan menyalurkan
energinya melalui berbagai kegiatan fisik, musik, atau keterampilan tangan.
Mereka juga dapat belajar berinteraksi secara interpersonal dan intrapersonal.
Kepada mereka secara bertahap dapat dikenalkan huruf atau membaca, lingkungan
hidup, pertanian, dan bahkan industri.
Pengenalan itu tidaklah berlebihan, karena dalam
penyampaiannya disesuaikan dengan dunia anak, yakni dunia bermain sehingga
proses belajarnya menyenangkan. Anak memang seringkali mengeskpresikan ide dan
perasaannya melalui permainan, sehingga ketika mereka merasa menikmati dan
senang dengan apa yang diajarkan itu, maka dengan sendirinya akan bermanfaat
bagi perkembangannya. Satuan PAUD seperti Kelompok Bermain merupakan media bagi
anak untuk bersosialisasi dalam masyarakat kecil. Kelompok Bermain merupakan
kegiatan bermain yang teratur pada jalur pendidikan nonformal yang
menyelenggarakan program pendidikan dan program kesejahteraan bagi anak berusia
dua tahun sampai enam tahun.
Dalam kelompok itu, mereka akan menyesuaikan diri dalam lingkungan yang lebih
luas, selangkah lebih mandiri, memiliki kebanggaan menjadi anggota kelompok
bermain di luar anggota keluarganya, dan sejumlah manfaat lainnya yang pada gilirannya
secara tidak sadar mendorong minat dan potensi anak untuk belajar.
Ada empat pertimbangan pokok pentingnya pendidikan anak usia
dini, yaitu: (1) menyiapkan tenaga manusia yang berkualitas, (2) mendorong
percepatan perputaran ekonomi dan rendahnya biaya sosial karena tingginya
produktivitas kerja dan daya tahan, (3) meningkatkan pemerataan dalam kehidupan
masyarakat, (4) menolong para orang tua dan anak-anak.
Pendidikan
anak usia dini tidak sekedar berfungsi untuk memberikan pengalaman belajar kepada
anak, tetapi yang lebih penting berfungsi untuk mengoptimalkan perkembangan
otak. Pendidikan anak
usia dini sepatutnya juga mencakup seluruh proses stimulasi psikososial dan
tidak terbatas pada proses pembelajaran yang terjadi dalam lembaga pendidikan.
Artinya, pendidikan anak usia dini dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja
seperti halnya interaksi manusia yang terjadi di dalam keluarga, teman sebaya,
dan dari hubungan kemasyarakatan yang sesuai dengan kondisi dan perkembangan
anak usia dini.
Pembelajaran Melalui Bermain
Anak-anak usia dini dapat saja diberikan materi
pelajaran, diajari membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan bukan hanya itu
saja, mereka bisa saja diajari tentang sejarah, geografi, dan lain-lainnya.
Jerome Bruner menyatakan, setiap materi dapat diajarkan kepada setiap kelompok
umur dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangannya (Supriadi, 2002: 40).
Kuncinya adalah pada permainan atau bermain. Permainan atau bermain adalah kata
kunci pada pendidikan anak usia dini. Ia sebagai media sekaligus sebagai
substansi pendidikan itu sendiri. Dunia anak adalah dunia bermain, dan belajar
dilakukan dengan atau sambil bermain yang melibatkan semua indra anak.
Bruner dan Donalson dari telaahnya menemukan bahwa
sebagian pembelajaran terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa
kanak-kanak yang paling awal, dan pembelajaran itu sebagian besar diperoleh
dari bermain. Sayangnya, menurut Samples bermain sebagai gagasan yang dikaitkan
dengan pembelajaran kurang mendapatkan apresiasi dalam berbagai lingkungan
budaya (Supriadi, 2002: 40).
Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi
menyenangkan. Menurut Conny R. Semiawan (Jalal, 2002: 16) bermain adalah
aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak karena menyenangkan, bukan karena
hadiah atau pujian. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat
ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan
bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan
hal-hal baru. Melalui permainan, anak-anak juga dapat mengembangkan semua
potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental intelektual dan
spritual. Oleh karena itu, bermain bagi anak usia dini merupakan jembatan bagi
berkembangnya semua aspek.
Kritik yang ditujukan kepada sejumlah TK bukan karena
mereka mengajarkan berhitung, membaca, dan menulis melainkan caranya yang salah
seakan-akan menjadikan TK sebagai miniatur SD. Padahal PAUD itu sesuatu yang
lain dengan landasan psikologis dan pedagogis yang berbeda. Belajar Quantum
dari De Porter & Hernacki serta revolusi belajar yang dibawakan oleh Dryden
& Vos (Supriadi, 2002: 41) meletakkan titik berat pada “pendinian” belajar
pada anak dengan memilih cara-cara yang sesuai, bukan pengakademikan belajar
pada usia dini – dua hal yang sangat besar perbedaannya. Pembelajaran pada anak
usia dini dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa metode (Direktorat
PADU,2001; Depdikbud, 1998), diantaranya yaitu:
a.
Bercerita
Bercerita
adalah menceritakan atau membacakan cerita yang mengandung nilai-nilai pendidikan.
Melalui cerita daya imajinasi anak dapat ditingkatkan. Bercerita dapat disertai
gambar maupun dalam bentuk lainnya seperti panggung boneka. Cerita sebaiknya
diberikan secara menarik dan membuka kesempatan bagi anak untuk bertanya dan
memberikan tanggapan setelah cerita selesai. Cerita
tersebut akan lebih bermanfaat jika dilaksanakan sesuai dengan minat, kemampuan
dan kebutuhan anak.
b.
Bernyanyi
Bernyanyi adalah kegiatan dalam melagukan pesan-pesan yang
mengandung unsur pendidikan. Dengan bernyanyi anak dapat terbawa kepada situasi
emosional seperti sedih dan gembira. Bernyanyi juga dapat menumbuhkan rasa
estetika.
c.
Berdarmawisata
Darmawisata adalah kunjungan secara langsung ke obyek-obyek
yang sesuai dengan bahan kegiatan yang sedang dibahas di lingkungan kehidupan
anak. Kegiatan tersebut dilakukan di luar ruangan terutama untuk melihat,
mendengar, merasakan, mengalami langsung berbagai keadaan atau peristiwa di
lingkungannya. Hal ini dapat diwujudkan antara lain melalui darmawisata ke
pasar, sawah, pantai, kebun, dan lainnya.
d.
Bermain
peran
Bermain peran adalah permainan yang
dilakukan untuk memerankan tokoh-tokoh, benda-benda, dan peran-peran tertentu
sekitar anak. Bermain peran merupakan kegiatan menirukan perbuatan orang lain
di sekitarnya. Dengan bermain peran, kebiasaan dan kesukaan anak untuk meniru
akan tersalurkan serta dapat mengembangkan daya khayal (imajinasi) dan
penghayatan terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan.
e.
Peragaan/Demonstrasi
Peragaan/demonstrasi adalah kegiatan dimana tenaga
pendidik/tutor memberikan contoh terlebih dahulu, kemudian ditirukan anak-anak.
Peragaan/demonstrasi ini sesuai untuk melatih keterampilan dan cara-cara yang
memerlukan contoh yang benar.
f.
Pemberian
Tugas
Pemberian tugas merupakan metode yang memberikan kesempatan
kepada anak untuk melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk langsung yang telah
dipersiapkan sehingga anak dapat mengalami secara nyata dan melaksanakan tugas
secara tuntas. Tugas dapat diberikan secara berkelompok ataupun individual.
g.
Latihan
Latihan adalah kegiatan melatih anak untuk menguasai
khususnya kemampuan psikomotorik yang menuntut koordinasi antara otot-otot
dengan mata dan otak. Latihan diberikan sesuai dengan langkah-langkah secara
berurutan.
Peranan dan Pemberdayaan Masyarakat
Kenyataan
bahwa masih banyak anak usia dini yang belum mendapatkan pelayanan pendidikan
tak dapat dipungkiri, terlebih bagi masyarakat kelas bawah yang merupakan
sebagian besar penduduk Indonesia
yang berada di pedesaan. Hal itu disebabkan antara lain kesadaran masyarakat
akan pentingnya pendidikan bagi anak usia dini masih sangat rendah. Kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya gizi dan kesehatan untuk peningkatan kualitas
anak, nampaknya jauh lebih baik daripada kesadaran akan pentingnya pendidikan.
Hasil penelitian Meneg Pemberdayaan Perempuan tahun 2001 di wilayah Jakarta dan
sekitarnya seperti yang dilansir oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (Jalal, 2002:
13) menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat memandang belum perlu pendidikan
diberikan kepada anak usia dini. Hal ini sangat wajar mengingat bahwa pemahaman
masyarakat terhadap pentingnya PAUD masih sangat rendah serta pada umumnya
mereka berpandangan bahwa pendidikan identik dengan sekolah, sehingga bagi anak
usia dini pendidikan dipandang belum perlu.
Lebih
jauh Hadis (2002: 25) mengemukakan ada beberapa faktor yang menjadikan penyebab
masih rendahnya kesadaran masyarakat di bidang pendidikan anak usia dini
seperti: ketidaktahuan, kemiskinan, kurang berpendidikan, gagasan orangtua
tentang perkembangan anak yang masih sangat tradisional, kurang mau berubah,
masih sangat konkret dalam berpikir, motivasi yang rendah karena kebutuhan yang
masih sangat mendasar, serta masih sangat dipengaruhi oleh budaya setempat yang
sempit.
Rendahnya
tingkat partisipasi anak mengikuti pendidikan prasekolah dapat juga dipengaruhi
oleh beberapa hal lainnya seperti: (1) Masih terbatas dan tidak meratanya
lembaga layanan PAUD yang ada di masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai
contoh pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA di perkotaan lebih pesat dibandingkan di
pedesaan; (2) Rendahnya dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan
anak usia dini. Fakta menunjukkan (Rosadi, 2002) dari 41.317 buah TK di seluruh
Indonesia, 41.092 buah (99.46%) didirikan oleh pihak swasta sedangkan
pemerintah hanya mendirikan 225 buah (0.54%). Jumlah TK tersebut tidaklah
berimbang dengan jumlah anak yang seharusnya mengikuti pendidikan dini. Memang
berhasilnya PAUD merupakan tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat
terutama keluarga yang merupakan penanggungjawab utama dalam optimalisasi
tumbuh kembang anak. Peran pemerintah adalah memfasilitasi masyarakat agar mereka dapat
mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
Upaya
pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat antara lain melalui standarisasi
kurikulum guna membantu masyarakat mengontrol penyelenggaraan pendidikan agar
tidak merugikan peserta didik maupun masyarakat, peningkatan kemampuan profesi
dan akademik bagi tenaga kependidikan, peningkatan fungsi keluarga sebagai
basis pendidikan anak, serta pengembangan manajemen pembelajaran yang mencakup
pengembangan metodologi pembelajaran, pengembangan sarana dan bahan belajar
termasuk bacaan anak, pengembangan permainan dan alat permainan serta
pengembangan evaluasi tumbuh kembang anak.
Dalam rangka memberikan perhatian secara khusus terhadap anak usia dini yang
tidak terlayani pada lembaga formal (TK/RA) maka dibentuklah Direktorat PADU di
lingkungan Depdiknas. Kehadiran direktorat ini terutama untuk memberikan
layanan, bimbingan dan atau bantuan teknis edukatif yang tepat terhadap semua
layanan anak usia dini (di luar TK dan RA) yang ada di masyarakat.
Masyarakat
itu sendiri juga perlu meningkatkan peran sertanya secara aktif dalam
pelaksanaan, pembinaan, dan pelembagaan pembinaan anak. Untuk itu pemerintah
perlu memberdayakan peranserta masyarakat sebagai upaya menumbuhkan dan
mengembangkan kemampuan masyarakat, dengan cara mengembangkan segala potensi
yang dimiliki agar masyarakat memiliki kemampuan sendiri dalam menentukan
pilihan dan mengambil keputusan. Dalam kondisi seperti ini, sinergi antara pemerintah
dengan masyarakat sangat diperlukan. Perlu pula diingat bahwa kebanyakan
program PAUD masih berjalan sendiri-sendiri, tidak ada sinergi antar program
yang ada di masyarakat.
Sinergi berbagai unsur yang berkepentingan dalam
pembinaan anak merupakan kunci keberhasilan upaya pembinaan anak. Pemerintah
harus memperluas jaringan kemitraan. Jaringan kemitraan merupakan kunci
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan program pendidikan, dimana selama ini
tumpang tindih program termasuk pembinaannya, merupakan kesalahan sebagai
akibat tidak berjalannya jaringan kemitraan termasuk koordinasi sebagai salah
satu komponennya. Disamping itu adanya jaringan kemitraan yang luas di setiap
tingkatan institusi masyarakat, mulai dari pusat sampai grass-root, merupakan
jawaban atas keberlangsungan suatu program di masyarakat.
Program yang mempunyai jaringan kemitraan memiliki
ciri-ciri antara lain tingginya komitmen semua unsur yang terlibat dan
tingginya rasa memiliki masyarakat terhadap program yang ada. Kedua ciri ini
merupakan komponen terpenting untuk menjamin keberlangsungan suatu program yang
pada gilirannya mengarah pada pelembagaan program di masyarakat. Perluasan
jaringan kemitraan agar efektif hendaknya diarahkan pada penciptaan situasi
kondusif yang menumbuh kembangkan komitmen semua unsur dan kepemilikan oleh
masyarakat terhadap suatu program.
Peranan
Keluarga dan Lingkungan
Bagi anak usia dini, orangtua merupakan guru yang
terpenting dan rumah tangga merupakan lingkungan belajar utamanya. Harus
diingat bahwa fungsi PAUD bukan sekedar untuk memberikan berbagai pengetahuan
kepada anak melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk mengajak anak
berpikir, bereksplorasi, bergaul, berekspresi, berimajinasi tentang berbagai
hal yang dapat merangsang pertumbuhan sinaps baru dan memperkuat yang telah ada
serta menyeimbangkan berfungsinya kedua belahan otak (Jalal, 2002: 15). Oleh
karena itu lingkungan yang baik untuk PAUD adalah lingkungan yang mendukung
anak melakukan kegiatan tersebut. Selama ini ada anggapan bahwa lingkungan yang
baik adalah ruangan yang berdinding putih, bersih, dan tenang. Sebuah anggapan
yang keliru karena ruangan tanpa rangsangan semacam itu justru menghambat
perkembangan anak. Memang benar bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap
kecerdasan seseorang tetapi pengaruh lingkungan juga merupakan faktor yang
tidak kalah pentingnya. Jika faktor bawaan dimisalkan sebagai dasar maka faktor
lingkungan merupakan pengembangannya. Tanpa diperkaya oleh lingkungan, modal
dasar tersebut tidak akan berkembang bahkan bisa jadi menyusut.
Jika orangtua karena satu dan lain hal tidak melaksanakan
fungsinya sebagai pendidik, fungsi ini dapat dialihkan (sebagian) kepada
pengasuh, lembaga pendidikan/penitipan anak, lingkungan atau siapa saja yang
mampu berperan sebagai pengganti. Peran pengganti ini dapat dilakukan baik di
lingkungan keluarganya (pengasuh) atau di luar lingkungan keluarga (KB, TPA
& lembaga PAUD sejenis). Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
perkembangan anak adalah sangat penting. Pengaturan lingkungan yang membuat
anak dapat bergerak bebas dan aman untuk bereksplorasi merupakan kondisi yang
sangat baik bagi perkembangan anak, anak dapat meningkatkan daya imajinasi dan
kreativitas serta diperolehnya pengalaman-pengalaman baru.
KESIMPULAN
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat penting dan
mendasar sebab merupakan hulu dalam pengembangan sumber daya manusia. Periode
emas dalam tumbuh kembang anak hanya terjadi sekali dalam kehidupan manusia
yang dimulai sejak lahir hingga usia delapan tahun. Penelitian di bidang
neurologi mengungkapkan bahwa perkembangan kecerdasan anak 50% terjadi pada
empat tahun pertama kemudian mencapai 80% hingga usia delapan tahun dan
akhirnya 100% pada usia 18 tahun.
Anak-anak yang berada pada rentang usia dini yang
memperoleh asupan pendidikan masih sangat minim. Anak usia 0 – 6 tahun
berjumlah 26,09 juta akan tetapi yang terlayani dalam PAUD di jalur pendidikan
formal (TK/RA) baru sekitar dua juta anak sehingga peran pendidikan non formal
dalam membantu mengatasi masalah tersebut sangat penting dan mendesak.
Kurangnya anak usia dini yang mendapatkan layanan
pendidikan disebabkan beberapa faktor diantaranya: (1) kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya pendidikan pada anak usia dini; (2) masih terbatas
dan tidak meratanya lembaga layanan PAUD yang ada di masyarakat terutama di
pedesaan. Sebagai contoh pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA di perkotaan lebih
pesat dibandingkan di pedesaan; (3) rendahnya dukungan pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Terdapat 41.317 buah TK di seluruh
Indonesia, hanya 225 buah (0.54%) TK yang didirikan oleh pemerintah, selebihnya
dibangun oleh swasta.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulhak,
Ishak. (2002). “Memposisikan Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Sistem Pendidikan
Nasional”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 54 – 59.
Anwar dan
Ahmad, Arsyad. 2007. Pendidikan Anak Dini Usia. Bandung: Alfabeta.
Asfandiyar,
Andi Yudha. 2009. Kenapa
Guru Harus Kreatif?. Jakarta: Mizan Media Utama.
CHA, Wahyudi
dan Damayanti, Dwi Retna. 2005. Program Pendidikan Untuk Anak Usia Dini di Prasekolah
Islam. Jakarta:
Grasindo.
Depdikbud.
(1998). Petunjuk Kegiatan Belajar Mengajar Taman Kanak-kanak. Jakarta:
Depdikbud.
Depdiknas.
(2002). Sambutan Pengarahan Direktur Jenderal PLSP pada Lokakarya Pengembangan
Program PADU, Jakarta.
Depdiknas.
(2003). Bahan Sosialisasi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Depdiknas.
Direktorat
Tenaga Teknis. (2003). Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia 0 – 6 Tahun.
Jakarta: Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat
PADU. (2001). Informasi Tentang Pendidikan Anak Dini Usia Pendidikan
Prasekolah Pada Jalur Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Direktorat PADU
-Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat
PADU. (2002). Acuan Menu Pembelajaran pada Pendidikan Anak Dini Usia (Menu
Pembelajaran Generik). Jakarta: Direktorat PADU - Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat
PADU. (2003). Model PADU Terintegrasi Posyandu. Jakarta: Direktorat PADU
- Ditjen PLSP – Depdiknas.
Gutama. (2003).
“Kebijakan Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia (PADU)”. Makalah pada Pelatihan
Penyelenggara Program PADU, Bandung.
Hadis, Fawzia
Aswin. (2002). “Strategi Sosialisasi Dalam Memberdayakan Masyarakat”. Buletin
Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 25 – 28.
Indrawati, Maya
dan Nugroho, Wido. 2006. Mendidik dan Membesarkan Anak Usia Pra-Sekolah. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher.
Isjoni. 2007. Saatnya
Pendidikan Kita Bangkit. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jalal, Fasli.
(2002). “Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Akan Pentingnya PADU”. Buletin
Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 9 – 18.
Rosadi,
Damanhuri. (2002). “Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Kerangka Otonomi
Daerah". Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 60 – 72.
Sudjana, D.
(2001). Pendidikan Luar Sekolah. Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falasafah,
Teori Pendukung, Asas. Bandung: Penerbit Falah Production.
Supriadi, Dedi.
(2002). “Memetakan Kembali Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Anak Dini Usia”. Buletin
Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 36 – 42.
__________
(2003). “Pendidikan Anak Usia Dini Dalam UU Sisdiknas”. Pikiran Rakyat.
Trisnamansyah,
Sutaryat. (2003). “Materi Pokok Perkuliahan Filsafat, Teori, dan Konsep Dasar
PLS”. Bandung: Makalah tidak diterbitkan.
Tientje, Nurlaila
N.Q. Mei dan Iskandar, Yul. 2004. Pendidikan Anak Dini Usia Untuk Mengembangkan Multipel Inteligensi.
Jakarta: Dharma Graha Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar